Pagi itu aku masih santai, menunggu adikku Aurora selesai sarapan.
“Huh, lama sekali. Raa…cepetan dong, kakak udah telat nih.” Kataku. Kita
berdua akan berangkat ke sekolah bersama ayah. Aurora sudah menginjak
kelas 2 SMP, sedangkan aku kelas 1 SMA. Ya, aku sedang mengikuti masa
ospek di sekolah. Lalu kami pun bergegas berangkat bersama. Sekolah Ara
memang gak jauh dari sekolahku. Setelah mengantarkan kami berdua,
ayahpun berangkat kerja. “Taaa… Taaa!”, ada suara bocah laki-laki yang
memanggilku. Dia Daniel, teman satu kelompok ospekku. “Bareng dong ke
kelasnya, ta. Eh iya ngomong-ngomong kamu tadi berangkat sama siapa?”,
Tanya Daniel. “Aku dianter sama ayah, bareng Ara juga kok”, sahutku.
Daniel itu sering banget nawarin aku berangkat bareng, karena rumah
Daniel satu komplek dengan rumahku. Sesampai di kelas, wajahku pucat,
aku masih bête sama Ara adikku. Ayah sama Bunda sepertinya lebih
memanjakan dia. Semua yang Ara minta pasti selalu dipenuhi. Pikiran ini
masih saja terngiang di kepalaku. Setelah mendengarkan senior memberi
pengarahan ospek, kami pun bergegas keluar kelas dan berkumpul di
lapangan. Kami diberikan beberapa tugas seperti meminta tanda tangan
senior. Saat pertama mengikuti ujian masuk sekolah ini, aku bertemu
dengan beberapa teman baru. Fani, dia salah satu alumni dari SMP dimana
Ara sekolah. Fani baik, terkadang cerewet. Lidya, dia belum lama tinggal
di kota ini. Lidya ini adalah salah satu siswa dari luar kota. Cara
ngomongnya medok, tapi Lidya perhatian dan jujur. “Aletta, kamu liat tuh
kak Farid, galak banget dia jadi timdis. Masa aku kemarin ketahuan gak
bawa salah satu peralatan ospek, aku dijemur di lapangan. Untungnya gak
lama”, cerita Lidya. Kak Farid itu adalah salah satu anggota timdis atau
tim disiplin saat ospek. Dia adalah salah satu senior yang paling
ditakuti oleh junior-juniornya, wajahnya tampan, gak sedikit yang suka
sama dia. “Lid, makanya kamu cek lagi kalo mau berangkat, barang bawaan
kamu udah lengkap belum. Wajar aja sih kalo dihukum hehehe”. sahutku
sambil bercanda. “Gimana kalo kita taruhan, siapa yang bisa dapetin
tanda tangannya kak Farid, boleh minta traktir makan sama yang kalah.
Gimana? “, kata Lidya. Sebenarnya aku malas menanggapi permintaan Lidya,
tapi aku pikir ya boleh juga deh. Fani hanya tersenyum mendengarkan
pembicaraan kami. Sudah menjelang makan siang, tapi diantara kami berdua
belum ada yang mendapatkan tanda tangan kak Farid timdis itu. Kami
hanya diberi waktu sampai setelah dzuhur untuk mendapatkan tanda tangan
para senior itu. Aku sudah mendapatkan beberapa tanda tangan PK
(Pendamping Kelompok), medik, dan beberapa panitia ospek. Sulit sekali
rasanya mendapatkan tanda tangan dari timdis. Saat aku sedang
berkeliling sendirian, tiba-tiba badanku lemas, keringat bercucuran, dan
aku pingsan. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi, saat aku terbangun,
aku melihat Fani, Lidya, dan Daniel mengelilingiku. Eh, ada kak Farid
dan kakak PK ku, kak Astrid dan kak Bobby. “Taa…kamu udah sadar? Masih
inget aku kaaan?”, kata Fani. “Fan, aku dimana? Ah kamu lebay deh. Pasti
aku inget kamu kok. Hehe”, sahutku sambil bercanda. Kemudian para
senior kami meninggalkan kami berempat di ruang UKS itu. “Aletta, tadi
kamu pingsan di depan ruang lab. Katanya sih, kak Farid yang nemuin
kamu. Lalu dia manggil beberapa orang buat bantuin gotong kamu ke ruang
UKS”, Daniel menceritakan apa yang terjadi. Aku terkejut mendengar
perkataan Daniel. Aku gak percaya. “Udah deh ta, taruhan kita soal tanda
tangan kak Farid itu dibatalin aja ya? Lagian batas waktu minta tanda
tangannya kan udah abis, ta”, sahut Lidya. “Kalian taruhan apa sih? Kok
aku gak tau?,” tanya Daniel. “Ah kamu Niel, ini urusan cewek!”, kata
Fani. “Ya pokoknya apapun itu, nanti abis selesai ospek aku anter kamu
pulang ya, ta” Daniel berbicara kepadaku. Daniel memang laki-laki yang
baik, dia perhatian sama aku.
Sesampai di rumah, kulihat Ara sudah sampai di rumah duluan.
“Kak, bisa bantuin Ara gak? Ada PR nih tapi Ara belum ngerti materinya.
Kak Letta mau ngajarin Ara gak?”, tanya Ara. Badanku masih lemas,
pikiranku masih belum fokus. Masih terngiang rasa bête yang tadi pagi
aku rasakan. “Ah kakak capek, kakak mau ke kamar dulu!”, aku tidak
memperdulikan Ara. Akhirnya Ara mengerjakan PR itu sendiri. Aku memang
suka iri sama Ara, kenapa di rumah ini selalu Ara yang dinomorsatukan.
Bunda, bunda suka nanyain Ara hari ini mau makan apa. Bunda juga suka
ngajak Ara pergi jalan-jalan. Ayah, ayah suka beliin Ara apapun yang dia
minta. Ayah juga suka memberi perhatian lebih kepada Ara. Tetapi aku?
Bunda suka bilang “Kamu kan udah gede, kak. Ngalah sama adiknya ya”. Aku
bosan bunda selalu bilang hal yang sama. Saat malam hari, Ara demam.
Lalu bunda menelepon dokter yang ada di klinik dekat rumah kami. “Ah Ara
kayaknya flu”, aku berkata. Esok pagi, demam Ara sudah membaik. Sebelum
berangkat ke sekolah, aku sempatkan masuk ke kamar Ara yang dihiasi cat
berwarna pink itu. “Kak, mau berangkat ya?”, tiba-tiba Ara melihatku
dan bertanya. Aku hanya diam. “Kak, nanti selesai pulang sekolah Ara
nitip coklat dong kak. Ara lagi mau makan coklat”, kata Ara. Aku hanya
tersenyum dan berkata “Iya ra, nanti ya”. Aku pun langsung bergegas ke
sekolah diantar ayah. Sesampainya di gerbang, aku melihat laki-laki
tersenyum kepadaku. Dia pun menghampiriku. “Taa…gimana? Udah sehat?”,
dia bertanya. Ya, aku juga gak percaya itu kak Farid. “Oh udah kak,
terima kasih ya atas bantuannya kemarin. Untung kakak bantuin bawa aku
ke UKS”, sahutku. Kami pun sempat mengobrol sebentar sebelum masuk ke
kelas masing-masing. Aku, Fani, Lidya, dan Daniel satu kelas. Saat jam
istirahat, kami hanya istirahat dan mengobrol di dalam kelas. “Taa…aku
denger adikmu sakit? Sakit apa?”, Daniel bertanya. Fani dan Lidya
terlihat cemas. “Gak apa-apa, Cuma flu kok Niel”, sahutku. Tiba-tiba bel
sudah berbunyi, guru fisika kami pun tiba di kelas. Jujur, aku gak suka
fisika. Aku lebih suka pelajaran-pelajaran ips. Kebetulan aku duduk
semeja dengan Daniel yang boleh dibilang pintar. Jadi aku bisa
nanya-nanya materi yang belum aku mengerti. Setelah kelas selesai, Fani
dan Lidya pulang berdua karena rumah mereka berdekatan. Sementara
Daniel, dia mengajakku untuk ulang bareng. “Sorry Niel, hari ini aku
pulang bareng kak Farid. Maaf ya”, kataku kepada Daniel. Daniel kecewa,
tapi dia mencoba tetap senyum di depanku. Kak Farid mengajakku pulang
bareng saat kami sedang mengobrol tadi. Aku gak enak menolak ajakannya.
Akhirnya kami sampai di depan rumahku. Lalu kak Farid pamit pulang
kepadaku. Hatiku senang dan wajahku terlihat riang. Ku lihat Ara sedang
nonton TV di ruang keluarga.Dia nampak ceria dan sudah sehat. “Kak, mana
coklat titipan Ara?”, tiba-tiba dia menegurku. “Aduh maaf ya ra, tadi
kakak gak lewat tokonya”, sahutku. Aku terpaksa bohong sama Ara. Aku
gak enak harus minta kak Farid menemaniku untuk membeli coklat itu.
Pukul 20.00 ayah pulang kerja dan tiba di rumah. Ayah membawa boneka
beruang besar buat Ara. Ayah juga membelikan Ara coklat. Ara terlihat
senang.
Esoknya, Ara mulai masuk sekolah lagi. Seperti biasa kami
berangkat diantar oleh ayah. Kira-kira pukul 12.00 bunda meneleponku.
“Letta…nanti abis kamu pulang sekolah, tolong belikan bubur ya buat Ara.
Tadi dia demam lagi di sekolah. Guru Ara yang nganterin pulang”, kata
ibuku. Saat keluar kelas, Daniel memanggilku. “Taaa…Taaa…kamu hari ini
sibuk ga? Nonton yuk!”, kata Daniel. “Eh tapi Niel, aku….”, kataku.
Belum selesai aku menjawab, Daniel berkata “udahhhh kita seneng-seneng
aja dulu, kamu gak stress abis pelajaran matematika tadi?”. Aku pun
akhirnya menerima tawaran Daniel. Kami berdua pun pergi ke bioskop dan
menonton. Setelah selesai menonton, kami pun bergegas pulang ke rumah
masing-masing. Bunda sudah menungguku di depan teras. “Letta..kamu
darimana? Kok baru pulang? Ini jam 19.00. Mana bubur buat Ara?”, tanya
Bunda. Yaampun aku lupa membeli bubur buat Ara. “Maaf bunda, Letta lupa
beli buburnya. Tadi Letta abis kerja kelompok di rumah Fani”,sahutku.
Lagi dan lagi aku berbohong. Ada apa denganku? Akupun tidak mampu
menjawabnya. “Yasudah, kamu mandi sana. Lalu belajar dan tidur”, kata
Bunda. Aku pun berjalan menuju kamarku. Aku sempat melirik ke kamar Ara,
aku melihatnya sedang tertidur pulas. Tidak terasa sudah mau ujian
kenaikan kelas. Aku, Fani, Lidya, dan Daniel berharap bisa satu kelas
lagi. Aku sekarang lebih sering belajar kelompok bersama Fani, Lidya,
dan Daniel. Aku berusaha fokus dan serius menghadai ujian kenaikan
kelas ini. Aku gak mau mengecewakan ayah dan bunda. Pukul 16.00 bunda
meneleponku dan memberitahuku bahwa Ara demam lagi, kali ini dia demam
tinggi. Bunda membawa Ara ke rumah sakit. Selepas pulang sekolah, ayah
menjemputku dan kami pun bergegas ke rumah sakit. Kata dokter, Ara harus
dirawat inap. Ara menderita demam berdarah. Tapi aku dengar Ara
merengek minta pulang. “Ayah, Ara mau di rumah aja. Disini gak enak.
Pulang yuk”, katanya. Bunda mencoba menenangkannya. Aku kasihan melihat
Ara. Sebentar lagi dia harus Ujian Nasional, tapi dia sakit dan
sepertinya akan melakukan ujian susulan. Sudah dua hari Ara dirawat,
Fani, Daniel, Lidya, dan kak Farid sempat menengoknya. Malam itu, Ara
merengek lagi minta pulang. Katanya dia ga betah di rumah sakit. Dokter
gak tega melihat Ara terus menangis, dan akhirnya dia membolehkan Ara
pulang tapi Ara harus benar-benar banyak istirahat.
Paginya, kami pun pulang ke rumah. Ara terlihat senang. Namun
wajahnya masih terlihat pucat dan badannya lemas. “Ra, kamu harus banyak
istirahat ya…. Inget kata dokter”, aku menasehati Ara. “Iya kak, pasti
Ara inget. Kak? Kakak mau kan nemenin Ara seharian ini? Ara pengen bobo
bareng kakak”, kata Ara. Ayah pun membaringkan Ara. “Iya Ra, kakak
disini terus kok”, sahutku. Setelah lama mengobrol, aku lihat Ara mulai
mengantuk dan tertidur. Tiba-tiba handphoneku bordering. “Taaa…kamu
dimana? Ada tugas tambahan dari Pak Johan. Tentang materi bab 9.
Ngerjain bareng yuk. Sekalian kita makan bareng sama Daniel dan Fani”,
Lidya meneleponku. Aku pun pergi menemui teman-temanku dan mengerjakan
tugas tambahan itu. Selepas mengerjakan tugas itu, kami memutuskan untuk
makan bareng di sebuah resto. Tidak terasa sudah jam 9 malam. Tiba-tiba
suara handphoneku berbunyi. Ayah meneleponku. “Aletta kamu dimanaaa?
Ara demam lagi. Demam tinggi. Ayah dan bunda sudah menelepon dokter.
Cepat pulaaaang!”, kata Ayahku. Aku panic dan cemas. Aku mencemaskan
Ara. Akhirnya aku bergegas pulang. Sesampainya di rumah, bunda memelukku
dengan erat. Ku lihat, ada dokter keluar dari kamar Ara. Bunda menangis
dan masih memelukku. “Bun? Ada apa? Kok bunda nangis?”, tanyaku. “Ara
udah pulang, ta. Ara udah pulang ke rumah”, sahut bunda. Aku semakin
bingung dengan perkataan bunda. Aku lari menuju kamar Ara. Kulihat
adikku Ara terbujur kaku dengan boneka beruang disampingnya. Aku
bingung, ada apa ini, aku mencoba membangunkan adikku tapi apa daya. Aku
sadar dia sudah berpulang. Aku menangis histeris. Ayah memelukku dan
mencium kepalaku. Aku sadar aku bukan kakak yang baik buat Ara. Aku gak
bisa membuat Ara senang dan bahagia. Aku sadar tidak seharusnya aku
merasa iri dengan Ara. Dia Adikku, satu-satunya adikku. Esok paginya,
Ara dimakamkan. Aku pun berbisik “Ara, maafin kak Letta. Kakak bukan
seorang kakak yang baik buat Ara. Kakak gabisa menuhin permintaan Ara.
Coklat? Bubur? Kak Letta ga pernah beliin itu buat Ara. Sampai terakhir
Ara minta kakak nemenin Ara. Kakak pun gak ada di sisi Ara. Tapi kali
ini kak Letta janji bakal nganterin Ara ke rumah baru Ara. Kak Letta
janji bakal doain Ara dari sini. Semoga Ara maafin kakak”, aku menangis.
Aku sadar, saudara adalah segalanya. Buat apa merasa iri dengan mereka.
Walaupun kamu benci sama mereka, percayalah kalo mereka selalu baik dan
menyayangimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar